Jejak Sejarah Caruban Nagari
Kerajaan CIREBON ini pada mulanya berupa dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Kepala Pelabuhan Muarajati ini memiliki seorang putri nan cantik jelita bernama Nyai Subanglarang. Putri ini kemudian dipersunting oleh Raja Pajajaran yang berkuasa pada waktu itu: Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan ini, lahir seorang pangeran bernama Raden Walangsungsang alias Prabu Kiansantang. Namun, meskipun ia putera raja, sang Pangeran tak mendapatkan haknya menduduki tahta Kerajaan Hindu Pajajaran karena memeluk agama Islam.
Oleh karena itu, sepeninggal Ki Gedeng Tapa, ia membangun Istana Dalem Agung Pakungwati dan membentuk sistem pemerintahan sendiri dengan bergelar Pangeran Cakrabuana. Pakungwati diambil dari nama putrinya, yaitu Ratu Dewi Pakungwati yang menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Istana Pakungwati pertama inilah yang merupakan cikal bakal Keraton Kasepuhan di Caruban Nagari atau yang sekarang kita kenal dengan nama Cirebon. Kompleks Keraton Kasepuhan sendiri mulai dibangun pada tahun 1529 dan memiliki dua buah gerbang: Gerbang Mayor di sebelah utara disebut Kreteg Pangrawit dan Gerbang Minor di selatan disebut Lawang Sanga. Seperti layaknya model keraton yang di pesisir Jawa pada masa itu, Keraton Kasepuhan menghadap utara, dengan Alun-alun Sangkala Buana terletak di depannya dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun di sebelah baratnya. Luasnya kira-kira 16 hektar (termasuk alun-alun dan masjid).
Sebuah ulasan dari Kompas edisi cetak 4 Juli 2009 sempat memuat denah Kasepuhan dalam gambar yang mudah dimengerti. Sayang, sumber gambar yang saya dapatkan kurang jelas…
Kereteg Pangrawit ternyata berupa jembatan yag kini dihotmix (kereteg = jembatan). Konon, dulunya jembatan ini bisa dinaik-turunkan (mungkin mirip jembatan di benteng atau kastil Inggris gitu kali, ya…). Di samping Kereteg Pangrawit, sebelah barat, terdapat Pancaratna, tempat menghadap para pembesar desa yang diterima oleh Demang atau Wedana. Sejajar dengan Pancaratna, di sebelah timur terdapat Pancaniti, tempat berkumpulnya para perwira keraton.
Di bagian berikutnya, kita akan memasuki sebuah kompleks bernama Siti Hinggil (= tanah yang tinggi – letaknya memang lebih tinggi dibanding sekitarnya) yang dikelilingi bata merah berbentuk candi bentar khas Majapahit. Bedanya, terdapat ‘taburan’ keramik Cina di seluruh pagar dan gapura yang merupakan ciri khas Cirebon. Gerbang utara bernama Gapura Adi dan di selatan bernama Gapura Banteng yang ukurannya lebih besar dari Gapura Adi.
Terdapat 5 Mande di dalam kompleks Siti Hinggil (mande = tempat duduk-duduk, nah kalo Bundo NakJadi Mande apaan dunk, hihihi… *piss, Bundo :D). Yang terbesar, terletak di tengah, bernama Mande Malang Semirang sebagai tempat duduk Raja menyaksikan latihan keprajuritan setiap Sabtu (Saptonan). Mande ini bertiang utama 6 (melambangkan rukun iman) dan jumlah tiang keseluruhan adalah 20 (melambangkan sifat-sifat Allah SWT).
Mande Malang Semirang diapit dua bangunan lebih kecil, yaitu tempat duduk pengawal raja Mande Pendawa Lima (bertiang 5, melambangkan rukun Islam) dan tempat duduk penasehat raja Semar Tinandu (bertiang 2, melambangkan syahadat).
Di belakangnya, terdapat Mande Karesmen (tempatnya crew gamelan) dan Mande Pengiring (tempat duduk para kerabat atau pengiring raja).
Melewati Pintu Regol Pengada, kita akan memasuki Halaman Kemandungan yang luasnya 37 x 37 m2. Di sebelah timur Regol Pengada, ada sebuah gerbang lagi yang sudah tidak digunakan bernama Gapura Lonceng yang berbentuk koriagung (gapura beratap). Di halaman ini ada sebuah sumur yang airnya sempat digunakan untuk mencuci benda-benda pusaka Keraton. Juga sebuah bangunan Langgar Agung tempat shalat Sultan dan para kerabatnya.
Melewati Langgar Agung, kita menuju gerbang berikutnya yaitu Pintu Gledeg (saking beratnya, pintu ini mengeluarkan bunyi gemuruh keras saat menutup dan membuka, sehingga dinamakan ‘gledeg’ alias guntur). Dan di halaman inilah terdapat bangunan induk keraton yang mula-mula merupakan Istana Pakungwati yang baru.
Memasuki pelataran, kita akan disambut sebuah taman cantik bernama Taman Bunderan Dewandaru. Di taman ini, terletak patung kecil Nandini (berbentuk lembu dari kebudayaan Hindu), meja batu hadiah dari Raffles, meriam dari kerajaan Galuh-Pakuan dan patung si meong kembar alias dua macan putih yang berdiri di atas Gunungan sebagai simbol bahwa Kerajaan Cirebon merupakan keturunan Pajajaran.
Dulu, sebelum bertemu Raja, kita harus menuju bangunan Lunjuk (= petunjuk) yang merupakan tempat informasi :). Di seberang Lunjuk, ada Sri Manganti (Sri = raja, Manganti = menanti) sebagai ruang tunggu. Di kedua sisi ini pula terdapat Museum Benda Kuno dan Museum Kereta.
Nah, barulah kita menuju bangunan utama keraton. Bagian luarnya dihiasi Kutagara Wadasan, sebuah gapura bercat putih dengan kaki gapura berukiran wadasan dan atasnya berukir motif mega mendung khas Cirebon. Kita tidak akan memasuki keraton melalui serambi Jinem Pangrawit (untuk menerima tamu kerajaan), melainkan melalui sebuah pintu samping bernama Buk Bacem.
Ruangan yang langsung kita temui adalah Bangsal Pringgandani yang dilengkapi kursi-kursi bergaya Eropa (namun terbuat dari rotan dilapisi beludru) dari tahun 1738 serta sepasang lemari kaca (biar tamu yang hobi nyisir kayak yang punya blog :P bisa ngaca dulu sebelum ketemu Raja).
Bangsal ini dihubungkan dengan bagian depan keraton oleh semacam koridor bernama Gajah Nguling yang dihiasi 6 buah tiang Tuscan. Uniknya, bangsal ini menyerong, dibuat seperti belalai gajah sedang menguak (nguling). Kondisi ini dimaksudkan agar musuh dari depan tidak langsung berhadapan dengan singgasana.
Singgasana Gading Gilang Kencana sendiri terdapat di dalam bangsal Agung Panembahan. Letaknya satu meter lebih tinggi dari bangsal Pringgandani dan Prabayasa. Di belakang singgasana, terdapat partisi dihiasi kain 9 warna (melambangkan 9 wali songo). Pemandu keraton mengatakan di belakang partisi terdapat tempat tidur Raja. Tatanan interiornya tidak berubah dari tahun 1529. Pengunjung tidak diperkenankan untuk memasuki ruangan singgasana ini.
Di sebelah kiri dan kanan ruang singgasana, terdapat tembok dekoratif yang mencolok dengan relief bernama Kembang Kanigaran. Ukiran di tengah, berbentuk bunga teratai yang jumlahnya melambangkan rakaat shalat. Terdapat juga dua ekor burung yang melambangkan rasa aman dan perlindungan, delima melambangkan keikhlasan dan manggis melambangkan kejujuran.
Di sekelilingnya, terdapat keramik dari Belanda. Keramik biru Delft menggambarkan pemandangan dan keramik berwarna cokelat berisi kisah dari kitab Injil. Kalau diperhatikan, kisah ini ditempel secara acak, ada yang tau kenapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar