Catatan ini berasal dari buku karya Ir. Mangaradja Onggan
Parlindungan yang diterbitkan pada tahun 1964 atau 8 tahun sebelum
Carita Purwaka Caruban Nagari diterbitkan oleh Drs. Atja, yang mana buku
tersebut bejudul Tuanku Rao. Naskah ini menjadi lampiran dalam buku
tersebut.
Parlindungan menyatakan bahwa ia menerima bahan-bahan buku itu dari
orang Belanda yang bernama Poortman yang naskah aslinya berasal dari
arsip kelenteng Talang di Cirebon. Catatan ini juga sudah dipakai oleh
Mr. Slametmuljana dalam bukunya tentang munculnya negara-negara Islam di
Indonesia yang berbahasa Indonesia pada tahun 1968 yang dilarang
beredar pada masa Orde Baru, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan
judul A Story of Majapahit.
De Graaf dan Pigeaud, dua pakar sejarah dari Belanda menyatakan bahwa
ketika pertama kali membaca naskah ini merasa asing dan mengabaikannya
akan tetapi kemudian menganggap naskah tersebut sebagai objek studi yang
berguna.
Sedangkan M.C. Ricklefs menyatakan bahwa ke hati-hatian jelas sangat
dituntut, menerima semua bagian dalam naskah ini secara apa adanya
merupakan tindakan yang bodoh.
Isi naskah tersebut tertulis, pemukiman Cina Pertama di Gunung Jati,
Cirebon. Tahun 1415, Laksamana Haji Kung Wu Ping, keturunan dari Kong Hu
Cu (Confusius) mendirikan menara mercusuar di atas bukit Gunung Jati.
Tidak jauh dari situ dibangun pula Komunitas Muslim Cina Hanafi, yaitu
di Sembung, Sarindil dan Talang. Masing-masing lengkap dengan masjidnya.
Kampung Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan
kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat
pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan memelihara mercusuar. Secara
bersama-sama, ketiga kampung Tionghoa Islam Hanafi itu ditugaskan pula
memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok dinasti Ming.
Pada waktu itu, daerah Cirebon penduduknya masih jarang tetapi tanahnya
sangat subur karena terletak di kaki gunung Ciremai.
Tahun 1450 – 1475, sebagaimana pantai utara Jawa Timur dan Jawa
Tengah, di daerah Cirebon pun Komunitas Cina Muslim Hanafi sudah sangat
merosot karena sudah putus hubungan dengan Tiongkok Daratan. Masjid
Sarindil sudah menjadi pertapaan karena masyarakat Tionghoa Islam Hanafi
di situ sudah tidak ada lagi, sedangkan masjid di Talang sudah menjadi
klenteng. Sebaliknya, Masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di Sembung sangat
berkembang dan sangat teguh imannya di dalam agama Islam. Pada waktu
itu perkembangan di Sembung sama seperti di Bagan Siapi-api, Pattani dan
Sambas yaitu masyarakat Tionghoa yang terisolasi tetap beragama Islam
Hanafi dan tetap menggunakan bahasa Tionghoa untuk mengerjakan ibadah.
Ekspansi Kekuasaan Demak di Jawa Barat, tahun 1526, armada dan
tentara Islam Demak singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta dalam armada
itu seorang Tionghoa Muslim peranakan yang pandai bahasa Tionghoa
bernama Kin San. Panglima tentara Demak (Syarif Hidayat Fatahillah)
serta Kin San dari Talang pergi ke Sarindil, tempat bertapa Haji Tan Eng
Hoat, Imam Sembung. Bersama Haji Tan Eng Hoat, tentara Islam Demak
secara damai memasuki Sembung.
Atas nama Raja Islam Demak, Panglima Tentara Demak memberikan gelar
kepada Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bunyi gelar itu, “Mu La Na Fu Di
Li Ha Na Fi”. Tentara Demak kembali ke kapal dan berlayar ke barat. Kin
San satu bulan bertamu pada Haji Tan Eng Hoat.
Sultan Trenggana memberikan gelar “Maulana-Ifdil Hanafi” kepada Haji
Tan Eng Hoat. Dengan demikian, Jafar Sadik gelar Sunan Kudus mengizinkan
Haji Tan Eng Hoat, di daerah Cirebon tetap beragama Islam Madzhab
Hanafi dengan terus menggunakan bahasa Tionghoa dalam menjalankan
ibadah. Mereka tidak dipaksakan harus beralih ke madzhab Syafi’i yang
ibadahnya menggunakan bahasa Arab.
Berdirinya Kesultanan Cirebon, tahun 1552, setelah seperempat abad,
Panglima Tentara Demak datang lagi ke Sembung, tanpa tentara. Haji Tan
Eng Hoat terheran-heran. Kabarnya, Panglima Tentara Demak pernah menjadi
Raja Islam di Banten. Dia sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan
dikalangan keturunan Jin Bun di Demak. Dia pun tidak mau tunduk kepada
Sultan Pajang, karena di Kesultanan Pajang, Madzhab Syi’ah sangat
berpengaruh. Bekas Panglima Tentara Demak bertapa seumur hidup di
Sarindil. Haji Tan Eng Hoat menceritakan bahwa masyarakat Tionghoa Islam
di Sembung pun sudah sejak 4 generasi putus hubungan dengan Yunnan yang
Islam. Sebaliknya, orang-orang Tionghoa keturunan Hokkian yang bukan
Islam sudah sangat kuat di daerah Cirebon. Haji Tan Eng Hoat sendiri
adalah keturunan Hokkian yang cuma sangat sedikit sekali yang mau masuk
Islam. Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Tentara Demak
supaya membimbing masyarakat Tionghoa Islam di Sembung mendirikan suatu
Kesultanan sebagaimana Jin Bun di Demak dahulu. Tidak ada jalan lain
untuk menjamin masyarakat Tionghoa dan madzhab Hanafi, kecuali
melepaskan diri dari Demak. Walaupun sudah tua, bekas Panglima Tentara
Demak itu menerima permintaan itu.
Tahun 1552 – 1570, dengan bantuan masyarakat Islam Tionghoa Sembung,
bekas Panglima Tentara Demak itu mendirikan Kesultanan Cirebon yang
berpusat di tempat Keraton Kesepuhan sekarang. Sembung ditinggalkan dan
menjadi pekuburan Islam. Penduduk Sembung hijrah dengan nama-nama Islam
dan nama-nama Indonesia asli menempati kota Cirebon yang baru muncul.
Sultan Cirebon yang pertama tentu saja bekas Panglima Tentara Demak
sendiri. Dia segera membentuk tentar Islam dari bekas penduduk Sembung.
Orang-orang Tionghoa yang non-Islam terpaksa tunduk kepada Tentara
Tionghoa Islam Cirebon yang baru dibentuk itu.
Tahun 1553, supaya ada ibu negara di Kesultanan Cirebon yang baru
tampil itu, maka Sultan Cirebon pertama (yang sudah lanjut usianya)
menikah dengan putri Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi. Dari
Sembung, penganten putri diarak ke Keraton dengan kebesaran, seolah-olah
dari istana kaisar-kaisar Tiongkok Dinasti Ming pada zaman Laksamana
Haji Sam Po Bo. Sang putri dikawal oleh sepupunya, Tan Sam Cai.
Tahu 1553 – 1564, Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi dengan
gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya menjadi Raja Muda bawahan Kesultanan
Cirebon. Secara de jure berkuasa sampai ke Samudera India, secara de
facto berkedudukan di dekat Kadipaten. Dari situ beliau sangat berjasa
dalam mengembangkan agama Islam Madzhab Syafi’i dalam bahasa Sunda di
pedalaman Priangan Timur sampai ke Garut.
Lalu, tahun 1564, Haji Tan Eng Hoat wafat di dalam ekspedisi militer
merebut kerajaan Galuh yang beragama Hindu. Jenazahnya dimakamkan di
daerah Galuh, di sebuah pulau di tengah suatu danau.
Karier Tan Sam Cai di Cirebon, tahun 1569 – 1585, Tan Sam Cai yang
tidak pernah suka memakai nama Muhammad Syafi’i bergelar Tumenggung Aria
Dipa Wiracula menjadi Menteri Keuangan Kesultanan Cirebon. Dia sangat
setia mengunjungi Klenteng Talang untuk membakar hio. Walaupun demikian,
secara finansial Tan Sam Cai sangat berjasa memperkuat Kesultanan
Cirebon, sehingga dia tetap dipertahankan. Sebagaimana sultan Turki, Tan
Sam Cai mendirikan harem tempat simpanan ratusan gula-gula kaki dua
yakni di Istana Sunyaragi.
Tahun 1570, Sultan Cirebon pertama wafat dan digantikan oleh putra
beliau yang dilahirkan oleh putri Cina. Karena Sultan Cirebon yang kedua
masih muda remaja, maka Tan Sam Cai secara de facto menguasai
Kesultanan Cirebon. Yang menentang kekuasaan Tan Sam Cai hanyalah Haji
Kung Sem Pak alias Muhammad Nurjani, keturunan Laksamana Haji Kung Wu
Ping. Ia menjadi Pakuncen dan tinggal di Sembung.Tahun 1585, Tan Sam Cai
wafat termakan racun di harem Sunyaragi. Jenazahnya ditolak oleh Haji
Kung Sem Pak dari pemakaman para pembesar Kesultanan Cirebon di Sembung.
Dalam hujan lebat terpaksa jenazahnya dibawa kembali ke Cirebon! Atas
permintaan istrinya (= Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong),
jenazah Tan Sam Cai dimakamkan secara Islam di pekarangan rumahnya
sendiri. Walaupun dia dikuburkan secara Islam, tetapi atas permintaan
penduduk Tionghoa non-Islam, di Klenteng Talang, diadakan pula upacara
naik arwah untuk mendiang Tan sam Cai. Namanya dituliskan dengan tulisan
Tionghoa di atas kertas merah, supaya disimpan di Klenteng Talang untuk
selama-lamanya. Tan Sam Cai dengan nama Sam Cai Kong, menjadi orang
suci yang mengabulkan do’a. (wb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar